Oleh : Zuma Karima
Hatiku
terasa mengeras seperti batu ditanah yang tandus, dan gersang. Setiap hari
terasa adanya bisikan-bisikan angin yang memanas. Aku merasa takut dan selalu
dibayang-bayangi oleh rasa kehancuran yang tak semestinya. Aku merasa otakku
sudah tak dapat berjalan seperti awalnya. Berbagai pertanyaan terbesit
dibenakku, dan rasanya ingin kuhempaskan itu semua tapi ternyata ku tak bisa.
Haruskah ku terjun dari atas tebing dan ku berteriak sekuat tenagaku supaya ku
dapat melepas semua yang kurasa kini?
Ku
bertanya kepadanya namun Ia masih tak berkata, hanya kebisuan yang melanda
dalam dinding yang beratapkan cahaya. Inginku menusuk-nusuk dadamu hingga robek
dan ku akan tau apa yang ada dalam hatimu itu. Inginku mencacimu dan mengutuk
perilakumu yang tak pernah dapat terpahami oleh siapapun itu.
“Ranum,
kemana kau akan melangkahkan kaki ini?”. Aku bertanya pada diriku sendiri.
Namun, tak kudapati jawaban itu.
Aku
beranjak dari tempat dudukku dan meninggalkan Rangga di tempat yang beratapkan
cahaya itu dengan rasa yang berkecamuk dalam dada. Tersirat kemarahan dalam
raut mukanya namun tetap saja ku tinggalkan dia. Aku pulang dengan air mata
yang terus mengalir di pipi. Sesampainya dirumah ku membuka pintu kamarku dan
kunyalakan lampu kamarku, namun, entah apa, semua terasa gelap gulita bagaikan
tak ada cahaya. Aku berbaring begitu saja ditempat tidurku tanpa ku
membersihkan badanku terlebih dahulu.
Cahaya
yang begitu tajam menyinari kedua mataku, dan membangunkanku dari lelap tidurku
yang ternyata sudah 3 hari ku tak sadarkan diri ditempat tidurku tanpa ada yang
mengetahuinya, karena memang aku sedang berada di rumah sendirian, orang tuaku
sedang liburan dengan keluarga besarku ke luar kota dan aku memilih berada
dirumah sendirian dengan harapan aku bisa menenangkan fikiranku, namun ternyata
tak sesuai dengan harapan.
“Numm…Ranum..”
terdengar suara berkali-kali dari luar rumahku, dan ternyata itu adalah suara
saudara perempuanku bukan sekandung yaitu Fitri. Lalu ku beranjak bangun dan
keluar.
“Iyaa
fit? Ada apa teriak-teriak seperti itu???”. kataku. “Sii…rang…ga num”. kata Fitri
dengan kebingungannya. Lalu aku menjawab, “Kenapa dengan rangga fit?”. “Rang,
rangga kecelakaan num”. kata Fitri dengan suara yang putus-putus. “Apaaa???
Kamu serius fit?”. Kataku dengan ketidak percayaanku kepada berita yang
disampaikan Fitri.
“Iyaaa
num, aku serius. Saat ini rangga koma di RSUD Tulungrejo, karena kecelakaan
kemarin sore.” Kata Fitri dengan ekspresi serius dan cemas.
“Ahhh,
aku gak percaya, buktinya tak ada kabar dari orang tuanya, tidak ada telvon
ataupun sms dari mereka.” Aku masih tetap tak mempercayainya.
“Mereka
sudah menelvonmu, dan sms kamu berkali-kali, namun kamu tak menjawabnya num,
kamu kemana saja?.” Kata Fitri dengan agak kesal.
“Astaghfirullah..
Bahkan aku belum buka hpku selama tiga hari ini fit, karena aku tiga hari ini
terlelap dalam tidurku, Maafkan Aku.” Kataku dengan penuh penyesalan.
“Masya’allah,
Iya sudah kalau begitu ayoo kita jenguk Rangga num, dia pasti membutuhkanmu.”
Kata Fitri.
Tanpa
ku menjawab, aku dan Fitri bergegas pergi ke RS untuk menjenguk Rangga.
Sesampainya di rumah sakit, ku tak kuasa menahan air mataku melihat keadaan
rangga yang terbaring lemah tak berdaya di ruangannya itu. Ternyata rangga
mengalami kecelakaan sewaktu pulang dari tempat kami bertemu tiga hari yang
lalu.
Aku
semakin tak kuat menahan air mataku, rasanya semua itu adalah kesalahanku yang
meninggalkan Rangga sendirian malam itu. Namun apalah arti penyesalan itu,
semua sudah terjadi, ibarat nasi telah menjadi bubur. Yang harus kulakukan
sekarang adalah berdo’a, memohon ampun dan memohon kepada Dzat yang Maha
Merajai Alam Semesta ini supaya Rangga dapat sembuh kembali.
Sudah
7 hari ku berada di samping Rangga, namun tetap dia tak sadarkan diri, belum
ada tanda-tanda ia sadarkan diri. Aku terbangun dan pergi sebentar untuk
melaksanakan sholat malam di Musholla rumah sakit. Disitu aku berdo’a dengan
penuh harap kepada Allah agar Rangga cepat sadarkan diri.
Keesokan
harinya, tak disangka dan tak diduga, Tangan Rangga bergerak dan secara
perlahan Rangga membuka matanya dan Rangga membangunkanku dengan mengangkat
tangannya diatas rambutku. Lalu aku terbangun, lantas aku berteriak memanggil
dokter, namun Rangga menahanku.
“Raaa..nuumm..”
Rangga memanggilku dengan suara lirih dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Iyaa
ngga..? kenapa? Biar aku panggil dokter dulu supaya menangani kamu.” Aku
menjawab dengan rasa bahagia bercampur aduk dengan cemas.
“Tiii..daaak,
num, Aaa..kuuu mauuu kaa..muuu..” Ucap Rangga dengan lirih. “Iyaa ngga, Ranum
ada disamping Angga, always for Angga.” Aku menenangkannya dengan menyebutnya
menggunakan nama panggilan khusus.
“Angga,
ingin ranum mendengarkan kata-kata angga”. Ucap Rangga dengan mata penuh harap.
“Iyaa anggaa, ranum akan dengarkan kata-kata angga.” Kataku.
“Ranum,
angga mohon ranum maafin angga yaaa?, angga mengakui angga salah, angga sudah
ketelaluan sama ranum, angga sudah memaksa ranum untuk melakukan kesalahan
besar yang tak harusnya kita lakukan sekarang, angga mohon maafin angga ya
num?.” Kata angga meminta maaf.
“Iyaa
ngga, ranum sudah maafin angga, yang perlu angga lakukan adalah angga mohon
ampunan sama Allah akan kekhilafan yang angga lakukan selama ini.” Ucapku
menenangkan.
“Iya
num, terima kasih yaa sudah mau maafin anggamu ini. Angga pesen sama ranum,
mulai dari sekarang bersihkan fikiran dan sucikan hati ranum dan jadilah ranum
yang seperti dulu lagi, yang selalu Ingat sama Allah, supaya ranum menjadi
wanita yang sholikhah. Jadi ketika nanti angga tidak disamping ranum, ranum
bisa menjaga diri ranum sendiri dan ranum bisa lebih baik lagi, beribu maaf
angga buat ranum, tolong dimaafin yaa?.” Pesan rangga kepadaku.
“Iya
angga, angga kenapa bicara seperti itu, seolah-olah angga mau menjauh dari
ranum?? Apa angga sudah tidak sayang lagi pada ranum?”. Ucapku bertanya-tanya.
“Bukan
seperti itu num, namun suatu saat nanti ranum akan tau jawabannya”. Ucap Rangga
menyisakan tanda tanya.
Kemudian
datanglah dokter yang menangani rangga, aku dan keluarga rangga dipersilahkan
untuk meninggalkan ruangan sejenak untuk pemeriksaan rangga. Selesai memeriksa
rangga dokterpun keluar dari ruangan rangga dengan raut muka yang murung. Aku
dan Ibu rangga pun bergegas mendatangi dokter.
“Dok,
bagaimana keadaan anak saya?.” Tanya Ibu rangga kepada Dokter. Namun dokter
tidak mengatakan apa-apa, dokter hanya diam dan diam.
“Dokter,
bagaimana keadaan rangga dok, tolong jawab, jangan hanya diam?”. Akupun
bertanya kepada dokter dengan rasa kesal.
Tanpa
pikir panjang aku pun bergegas masuk ke ruangan rangga. Dan ditempat ranjangnya
semua peralatan yang awalnya terhubung di badan rangga kini semua sudah
dilepas. Aku tak tau apa maksud semua ini, dan akupun mendekat di tempat tidur
rangga.
“Anggaaa…?”.
Aku memanggilnya. Namun angga tidak menjawabnya. “Angga..angga…?.” Masih belum
bangun juga. Lalu masuklah ibu rangga dan menghampiriku. “Bu.. rangga tidak mau
bangun bu, sudah tiga kali aku memanggilnya, namun dia tak menjawabku bu, apa
rangga tidur bu?.” Dengan penuh rasa cemas aku bertanya kepada Ibu rangga.
“Iya
sayang, rangga sudah tidur nyenyak ditempatnya yang Indah untuk selamanya.”
Ucap ibu rangga. “Apa maksud ibu?.” Aku bertanya tak mengerti. “Sayang, rangga
sudah tidak bisa bersama kita, dia sudah kembali kepada yang menciptakannya.”
Ibu menjawab dengan rasa sedih.
“Tidaaaaak,
tidak mungkin, rangga pasti sedang tidur bu, iya kan bu.” Jawabku dengan
ketidak percayaanku. “Tidak sayang, rangga sudah pergi, biarkan rangga tenang
di alam sana.” Kata Ibu dengan meneteskan air mata di punggungku.
“Anggaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa..
Kenapa angga tega meninggalkan ranum secepat ini, ranum belum siap untuk angga
tinggalin.” Akupun berbicara sendiri.
Sekarang
akupun mengerti atas apa yang Rangga ucapkan waktu itu, ternyata memang Rangga
akan pergi jauh untuk selama-lamanya.
***
Dua
tahun yang lalu, ketika Rangga meninggalkan aku untuk selama-lamanya, maka
akupun berfikir, hidup seseorang tidak akan ada yang tau sampai kapan,
mungkinkah esok masih diberi kenikmatan untuk menghirup udara yang segar, untuk
memandang langit yang indah. Semua tidak ada yang tahu, untuk itu setelah
kepergian Rangga aku bisa menjadi pribadi yang selalu mensyukuri nikmat yang
diberikan Sang Pencipta setiap harinya. Aku berterima kasih kepada Rangga yang
sudah memberi jawaban atas semua kegalauanku selama ini. Aku bisa kembali untuk
selalu mengingat Sang Pencipta Alam semesta Ini. Aku pun kembali kejalan yang
sudah seharusnya menjadi jalan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, menjadi
pribadi yang taat kepada Allah SWT, sehingga aku bisa mensyukuri segala yang
telah Allah berikan kepadaku, entah itu berupa musibah yang aku mensyukurinya
dengan rasa sabar, dan entah itu beruba kebahagiaan yang ku syukuri dengan
mengucap Alhamdulillah.
*The
End*
Tags
cerpen