“Dari
Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau. Sambung menyambung menjadi satu,
itulah Indonesia”
Ingatkah kalian dengan potongan lirik lagu diatas?
Mahasiswa pastinya tau, bagaimana seharusnya menyikapi salah satu lagu ciptaan
R. Suharjo ini. Lirik yang padat dan singkat, tetapi memiliki makna yang
mendalam. Secara tersirat, lagu tersebut memerintahkan kita untuk menjunjung
tinggi harum nama Bangsa Indonesia.
Indonesia, Negara Kepulauan terbesar di dunia yang
terdiri dari 17.504 pulau.tepatnya di bagian Asia Tenggara yang dilintasi garis
khatulistiwa dan berada diantara Benua Asia dan Australia, serta antara Samudra
Pasifik dan Samufra Hindia.
Meskipun terlihat kecil jika dilihat di peta dunia,
Indonesia dapat menampung kurang lebih 270.054.835 juta jiwa. Hal ini
mengantarkan Indonesia masuk peringkat keempat negara berpenduduk terbesar di
Indonesia.
Masyarakat Indonesia yang tersebar di berbagai
penjuru tersebut, pasti memiliki suku, ras, budaya dan kepercayaan
masing-masing. Dengan semboyan yang dimilik, “Bhinneka Tunggal Ika” yang
berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu”, membuat masyarakat Indonesia semakin
kokoh dengan perbedaan-perbedaan yang ada. Mereka tidak mengunggulkan
kebudayaan yang mereka miliki adalah yang paling baik. Namun, kesadaran
masyarakat Indonesia timbul untuk saling bertoleransi antara satu dengan yang
lain.
Bahasa
Ibu
Setiap daerah di Indonesia mempunyai ciri khas yang
beraneka ragam. Salah satunya yaitu bahasa sehari-hari yang digunakan untuk
berkomunikasi. Keunikan keaneka ragaman bahasa tersebut dapat dilihat dari
daerah mana masyarakat tersebut tinggal.
Kurang lebih 90% dari warga Indonesia dapat memahami
dan menuturkan Bahasa Indonesia. Namun, bahasa Indonesia bukanlah bahasa Ibu.
Sebagian besar warga Indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada
di Indonesia sebagai bahasa Ibu.
Masyarakat pengguna Bahasa Jawa tidaklah sedikit.
Hampir dari keseluruhan masyarakat Indonesia bisa menggukan bahasa Jawa. Hal
ini dikarenakan banyak dari mereka yang bermigrasi ke pulau tetangga. Sehingga
bahasa dari suku Jawa dibawa kesana dan digunakan sehari-hari, akhirnya menyebar
ke masyarakat sekitar.
Dalam lingkup pulau Jawa, terdapat banyak logat atau
dialek yang digunakan sehari-hari. Entah itu di Jawa Tengah, Jawa Timur ataupun
Jawa Barat. Seorang ahli bahasa Belanda, E.M. Uhlenbeck, mengelompokkan
dialek-dialek yang dipergunakan di wilayah barat dari Jawa Tengah sebagai
kelompok (rumpun) bahasa Jawa bagian Barat (Banyumasan, Tegalan, Cirebonan dan
Banten Utara). Kelompok lainnya adalah bahasa Jawa bagian Tengah (Surakarta,
Yogyakarta, Semarang dll.) dan kelompok Jawa bagian Timur.
Coba kita bandingkan, antara bahasa Jawa dialek
Yogyakarta, Surakarta, dan dialek Banyumasan terdapat banyak perbedaan.
Perbedaan yang paling menonjol yaitu pelafalan huruf “a” pada akhir kata.
Contohnya, jika orang Surakarta berkata “arep lungo”, tetapi orang Jawa bagian Barat
akan melafalkan “arep lunga”. Sama halnya dengan pelafalan huruf mati diakhir
kata. Misalnya, jika orang Solo berkata “enak” dengan akhiran “k” yang tidak
menekan, tetapi dalam dialek Banyumasan akan melafalkan huruf “k” dengan sangat
jelas. Atau kita sering menyebutnya sebagai bahasa Ngapak.
Artikulasi yang berbeda, tidak mengubah arti
kandungannya. Mungkin jika kita jarang bertemu orang lain dengan berbeda
dialek, akan merasa aneh dan tidak mengerti apa yang sedang deibicarakan. Untuk
itu, supaya Bahasa Ibu tetap menonjol, gunakanlah bahasa daerah masing-masing
agar masyarakat Indonesia sadar akan keunikan yang dimiliki. Tak perlu malu
jika dibilang ndeso karena tidak menggunakan bahasa Indonesia gaul
“gue”, “lo”. Ada baiknya juga kita menggunakan bahasa daerah, karena kita telah
menghormati nenek moyang.
(Sabrina
Mutiara F)
Tags
Artikel